Iklan Billboard 970x250

Ada Cinta dalam Takwa

Ada Cinta dalam Takwa





Kutatap wajah lelahnya. Dari tatapan matanya redup, saya sudah tau, ia tidak menerima apa-apa, untuk menyambung hidup kami besok hari.

“Maafkan aku! Ketika saya berhadapan dengan mereka, tiba-tiba mulutku terasa bungkam. Aku tak mampu berucap pada mereka walau sekadar hanya meminjam uang untuk satu liter beras. Maafkan aku!” ucap suamiku tertunduk.
Sejak siang tadi ia turun ke kota, silaturrahmi ke teman-temannya, berharap di antara mereka ada yang mampu meminjamkan uang kepada kami.

Emosiku melijit tinggi. Lalu mau makan apa besok pagi? Bukankah ia perlu makan, biar ia mampu besar lengan berkuasa lagi naik gunung untuk menyadap karet? Kenapa ia tak mampu berucap pada teman-temannya untuk sekadar berhutang? Kenapa? Apakah ia gengsi, aib mengakui jika tolong-menolong hidup kami ketika ini dalam kekurangan? Ia boleh gengsi. Mungkin ia memang tahan menahan lapar, tapi tidakkah terpikirkan olehnya bahwa anak-anaknya tak kan besar lengan berkuasa menahan lapar?
Beruntungnya, emosi yang meluap-meluap masih mampu kutahan, sehingga tak perlu keluar dalam bentuk lahar, lalu memperabukan perasaannya.

Sekali lagi kutatap wajah lelahnya. Ia memang telah berusaha sekuat tenaga untuk mencari nafkah. Hanya saja, kebun karet yang disadapnya masih milik orang lain, sehingga harus menyebarkan hasil dengan pemilik kebun. Walaupun jadinya sangat sedikit dari rata-rata penduduk sini, namun saya masih mampu mengelolanya untuk kebutuhan kami sehari-hari.

Tapi kali ini, harga karet menurun drastis, ditambah lagi di isu terkini kemarau pohon-pohon karet mengeluarkan getah yang sangat sedikit, dan juragan karet mengumpulkan karet-karet dari penduduk hanya sebulan sekali. Penghasilan suamiku bulan ini tidak mencukupi untuk sebulan, sementara kami tidak mempunyai tabungan.

Salah satu kelebihannya yang sangat kugami. Ia tak pernah meminta kepada siapa pun atau sekadar mengeluh wacana kesempitan hidupnya, walaupun kepada orang tuanya sendiri. Padahal orang tuanya yaitu orang yang berkecukupan. Sifat satu inilah yang membuatnya tak mampu berucap untuk meminta santunan kepada orang lain.
“Sudahlah, Mas! Tak perlu duka begitu. Kita berdoa saja pada Allah, mudahan Yang Mahakuasa beri rezeki untuk kita. Kalaupun memang belum rezeki kita, mudahan Yang Mahakuasa beri kita kekuatan,” kataku melembut sambil memegang pundaknya. Aku tak ingin ia dihantui rasa bersalah, walaupun tolong-menolong perasaanku sendiri dalam keadaan gamang.

Ia mengangkat wajahnya, “Terima kasih Dik, atas pengertiannya.”

Aku mengangguk, “Sebaiknya Mas istirahat!”

Ia memutarkan pandangannya ke sekitar kebun karet, terlihat seluit jingga mulai muncul di ufuk langit. “Sebaiknya saya berkemas-kemas ke masjid, sebentar lagi Maghrib. Dan mungkin habis Isya, gres mampu pulang. Doakan ya, mudahan malam ini, Yang Mahakuasa bukankan jalannya.”
Aku mengangguk cepat sambil tersenyum. Aku bahagia sekali melihatnya. Memang ia tak mampu menawarkan banyak bahan untuk anak istrinya. Namun kesalehannya lebih dari cukup untuk kami.
***

Aku tak tabah menunggu kedatangan suamiku, dari masjid sehabis shalat Isya. Aku berharap, ia menerima sedikit uang atau beras atau apa saja yang mampu ia dimakan dan bawah umur  di pagi hari. Agar ia dan bawah umur besar lengan berkuasa untuk beraktivitas.

Tapi keinginan itu tiba-tiba pupus, ketika melihat tangannya yang kosong dan wajahnya yang tidak mengesankan adanya gosip gembira.  Hasbunallah wani’mal wakil.
***


Tok… tok…

Bunyi ketukan pintu membuat kami terkejut, sekaligus was-was. Siapa yang datang malam-malam begini? Di hutan ini? Aku melirik jam di dinding, jarum pendeknya menunjukkan jam sepuluh.

Tok… tok…

“Siapa?” tanya suamiku bernada curiga sekaligus cemas.

“Ini aku, Tayyib.” Terdengar sahutan dari luar.

Kami saling berpandangan. Apa maksud kedatangan Tayyib malam-malam begini? Terlebih ia bukan penduduk sini, ia penduduk dari kampung di atas, Tanuhi. Sekitar sepuluh kilometer dari sini.

Suamiku bergegas bangun membukakan pintu. “Tayyib, ada apa? Eh, masuk-masuk!” kata suami tergagap, ketika menyadari jika ia belum mempersilahkan temannya masuk.

“Tidak. Aku di sini saja. Aku hanya ingin bayar hutang. Ini,” ucap Tayyib sambil menyodorkan beberapa lembar uang dan sekantong pelastik kecil. “Ini sedikit beras, hasil panen kami.”

“Tayyib. Kenapa repot-repot begini? Kenapa tidak kau tunggu besok saja? Ini malam, gelap lagi alasannya tak ada bulan, tentu sangat berbahaya!” kata suamiku yang keheranan sekaligus bercampur bahagia.

“Tadinya mau begitu. Tapi, entah kenapa hatiku ingin segara kemari.”
Dari kejauhan, kuperhatikan wajah polosnya tidak menunjukkan bahwa ia tahu akan kesulitan kami.
Tayyib, asli penduduk Tanuhi, untuk ke sini, ia harus melewati jalan yang berkelok-kelok kolam ular dan menanjak tajam. Belum lagi di pinggir-pinggir jalan banyak jurang-jurang yang curam.

Hatiku berdecak hebat. Siapa lagi yang menggerakkan hati, kaki, tangan dan seluruh anggota badannya kecuali Allah. Ya, Allahlah yang menggerakkan semuanya. Inilah pertolongan Yang Mahakuasa kami. Ada cinta di balik ketakwaannya.  

“… Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Yang Mahakuasa menimbulkan baginya fasilitas dalam urusannya.” (QS. At-thalaq: 4)

Baca Juga
SHARE
Subscribe to get free updates

Related Posts

Post a Comment

Iklan Tengah Post