Iklan Billboard 970x250

Pengakuan

Pengakuan





Sudah hampir  dua bulan kami menikah, beliau tak jemu mengucapkan kalimat yang sama. Aku tahu, di balik ucapannya tersimpan sebuah harapan, namun untuk menjawabnya tak sesederhana rangkaian kata itu.
Setiap kali saya berusaha mengeja, yang terasa hanyalah sebuah keterpaksaan. Ya, saya menikah dengannya karena terpaksa.
Mas Akram, memiliki sebuah mini market yang kebetulan tidak terlalu jauh dengan rumah kami sehinga saya sering berbelanja di sana.

Siapa sangka, tiba-tiba Akram datang ke rumah dan melamarku. Dan ayahku yang sering bertemu dengannya di masjid, tentu sangat senang dengan lamaran itu. Tanpa babibu dan bertanya padaku, ayah eksklusif mendapatkan lamaran itu. 

“Maafkan aku, Ren. Bukan saya tak mencintaimu, tapi kau pasti tahu untuk membangun rumah tangga itu tidak bisa hanya bermodalkan cinta!” Begitulah terakhir yang kulihat, wajah keputus asaan pada mantan kekasihku. Akhirnya, saya harus mendapatkan kenyataan bahwa Akram ialah jodohku.
Aku sangat mencintai dan ingin setia pada kekasihku. Tapi, apa yang harus kujelaskan pada ayah. Menolak lamaran seorang laki-laki baik-baik, dengan alasan memilih setia pada seorang kekasih yang tak terang kepastiannya.

Aku menaatinya. Apa pun yang Mas Akram perlukan, akan selalu kulayani. Bahkan melayaninya melebihi daripada keperluan diriku sendiri. Aku melakukannya karena Tuhan dan Rasul-Nya menyuruh seorang istri mentaati suaminya. Redha Tuhan terletak pada reda suaminya. Aku tak ingin menyusahkan hidupku dengan kemurkaan Allah.

Sejauh ini kami baik-baik saja. Bahkan saya mulai kagum dengan sikap dan keshalehannya. Istiqamah shalat berjamaah di mssjid. Dia selalu menutup mini marketnya jikalau tiba waktu shalat. Bukankah ini sebuah penomena yang sangat langka? Yang mencerminkan keteguhannya memegang agama, mengalahkan rayuan dunia yang begitu manis.

Hingga suatu hari Mas Akram, secara tidak sengaja menemukan fotoku bersama mantan. Aku tak mengerti kenapa foto itu masih terselip di antara dokumenku, padahal saya sudah berusaha membuang semua kenangan masa lalu.
****
 
“Aku sudah makan tadi di luar. Sekarang saya ingin istirahat.”
Aku hampir tak percaya dengan apa yang ditangkap oleh indera pendengaran dan mataku. Tak pernah Mas Akram menyerupai ini. Dia selalu makan malam di rumah, dan bersamaku, walaupun ia sudah makan di luar bersama anak buahnya. Sekarang ia datang dengan sikap hambar dan tidak perduli.

Ia tahu, kalau saya tak pernah makan malam sendiri setelah menikah dengannya. Aku selalu menyiapkan makanan untuknya. Aku selalu menunggunya, walaupun seberapa laparnya perutku. Kenapa ia tega melaksanakan semua ini padaku?

Lelah dan rasa lapar  membuat amarahku melejit tinggi. Ingin sekali menderap, berlari, menarik bajunya, dan memarahi sikapnya yang menurutku sangat kekanak-kanakan.

Kenapa beliau tidak bicara saja denganku? Kenapa ia lebih suka mendiamkanku? Seakan inilah yang pantas hukuman buatku.

Aku ingin menangis di hadapannya. Aku kecewa dengan sikap hambar dan tuntutannya. Apakah kebaktianku tidak cukup untuknya? Apakah ketaatanku tidak cukup bisa membuatnya bahagia? Tidak bisakah bersikap baik padaku sebagaimana saya bersikap baik padanya?

Kenapa ia cemburu pada masa laluku? Bukankah itu hanya sekedar masa lalu?! Masa lalu tak mungkin kembali, kecuali beliau yang melepaskanku. Apakah karena akreditasi cinta yang begitu diharapkannya? Menurutku ini sangat keterlaluan!
Kenapa tidak beliau tanyakan pada dirinya sebelum melamarku? Sebelum memutuskan untuk menikahiku? Sehingga dengan pertanyaan menyerupai itu, setidaknya ia tidak memaksakan diri menikahiku, kalau memang kata cinta itu sangat berarti baginya.

Namun kenyataannya, saya tak punya kemampuan melampiaskan kemarahan padanya, meski beribu pertanyaan memuntal dan kusut dalam benakku.

***
“Lo, kenapa mukanya kusut begitu?” celutuk Kak Rey, begitu saya masuk dan duduk di dingklik ruang tamu. Aku tak bisa eksklusif menjawab. Kutarik nafas dalam-dalam, lalu kuhempaskan dengan kasar.

“Kenapa? Ada problem ?” tanya Kak Rey lembut. Lagi-lagi saya tak bisa bicara. Urusan rumah tangga bukanlah hal yang baik diceritakan pada orang lain. Tapi Kak Rey bukanlah orang lain. Lagi pula bukan  bermaksud untuk membeberkan malu rumah tanggaku. Aku hanya ingin mengurangi sesak dalam dada. Aku juga menginginkan nasihatnya. Siapa tahu, dengan bantuannya bongkahan salju di dalam rumah tangga kami bisa mencair.

“Katakanlah! Mudahan saya bisa membantu.” Kata-kata dan tatapan mata Kak  Rey yang penuh kasih sayang membuat mulutku terus mengoceh tanpa bisa dicegah.
“Jadi itu permasalahannya. Aku rasa beliau tidak akan mempermasalahkan masa lalu, jikalau saja kau mencintainya. Jadi…  itu bukan sekadar kecemburuan, tapi harga diri. Sebagai seorang laki-laki, saya merasa  dia juga merasa bersalah karena sudah membuatmu terpaksa menikah dengannya.”
Mataku mengerjap. Terlalu sulit untuk mencerna kalimat Kak Rey. Atau mungkin karena seorang wanita, tak mengeri perasaan laki-laki. 

“Aaah, saya pun sulit menjelaskannya,” erangnya seakan memahami ketidakmengertiaku. “Lagi pula, kenapa kau begitu ngotot tak ingin mengucapkan cinta padanya?”
“Entahlah, Kak. Aku hanya tak ingin mengucapkan yang saya sendiri tidak yakin dan saya tak ingin membohonginya.”
 “Kalau kau merasa tak mencintainya, kenapa jadi galau begini?! Kalau orang tak cinta, justru dikala menyerupai ini kesempatan untuk berlepas diri. Tapi kamu?! Kamu malah tersiksa dengan sikap dinginnya.”
 “Aku…” Aku ingin membantah ucapan Kak Rey, kenyataannya kebaikan-kebaikan Mas Akram, bagai slide foto yang terus berputar di benakku. “Mungkinkah cinta sekian tahun bisa berubah hanya dengan kebersamaan dua bulan?” gumamku. 

“Kalau begitu, berpikirlah untuk berpisah!”
Aku tersentak kalimat yang diucapkan Kak Rey dengan begitu ringannya. Tatapan matanya kali ini menusuk jantung. Sakit. Namun, belum sempat bibirku terbuka, Kak Rey kembali berkata. “Kenapa? Takutkan? Apa tidak cukup, ketakutan itu sebagi bukti bahwa kau mencintainya?! Bahwa kau ingin selalu bersamanya?!”

****
Jika ada yang memperhatikanku, pasti ada akan ada yang mengatakan bahwa saya gila. Betapa tidak. Sepanjang jalan saya tak bisa menahan lengkungan di bibirku. Kebahagiaanku membuncah.
Jauhnya dari rumah Kak Rey ke mini market Mas Akram membuat jiwaku terasa meronta-ronta. Waktu terasa merayap, sementara rindu semakin erat memelukku.
Aku memekik keras. Entah kenapa di depanku ada kendaraan beroda empat yang keluar dari tikungan. Spontan kaki dan tanganku mengerem motorku, namun terlambat. Motorku terlanjur menabrak kendaraan beroda empat itu. Seketika bunyi dentuman keras membahana di angkasa.

Setelah itu tak dapat lagi kucerna satu persatu. Semuanya terlalu cepat. Hanya senyuman dan bunyi Mas Akram yang berkelabat di benakku. Aku melihatnya jelas. Aku ingin menyentuh wajahnya, tapi tanganku tak bisa lagi bergerak.

Aku ingin mengatakan cinta padanya, tapi suaraku hilang. Aku berusaha untuk bergerak, tapi sia-sia saja. Bahkan perlahan, semuanya menjadi gelap dan bunyi Mas Akram pun hilang.

***
Apa yang terjadi denganku? Kenapa tubuhku terasa sakit dan kaku? Apakah saya tertidur terlalu lama, sehingga sangat sulit membuka mata? Berapa kali saya mengerjap. Semuanya masih buram.
“Kau sudah sadar?” bunyi itu, saya mengenalnya. Tapi... apa yang terjadi?
“Alhamdulillah, Kau sudah sadar. Terimakasih ya, Allah.” Pertama kali yang kulihat ialah wajah pias Mas Akram. Senyumnya mengembang sempurna, terlihat sekali kebahagiaannya. Tapi, kenapa wajahnya kelihatan tirus? Apa yang terjadi? Kenapa saya merasa sangat merindukannya?
Kuedarkan pandanganku. Kenapa langit-langit kamar putih, bukan kamar  kami yang biru?

“Kita ada di rumah sakit. Alhamdulillah, sekarang kau sudah sadar. Aku senang sekali,” seru Mas Akram begitu menggebu, seolah-olah ia mau berteriak.
Berkali-kali ia mencium tanganku. Aku mencicipi tanganku berair oleh pipinya.
Rumah sakit? Apa yang terjadi? Tanpa diminta, otakku bergerak memutar, melahirkan potongan-potongan kejadian. Mobil. Ledakan. Teriakan. Nyeri. Darah. Senyum mas Akram. Dan saya ingat, ada yang ingin kulakukan waktu.
Baru saja ku membuka lisan ketika Mas Akram berseru, “Oh, iya, sebentar. Kita harus memanggil dokter.”

Dengan cepat tangan Mas Akram memencit tombol merah yang ada di dinding.
Susah payah saya mengumpulkan kekuatan untuk menyentuh tangannya. Aku ingin mengatakan sesuatu. Bagaimana? Suaraku kemana?
“Tak apa, sebentar lagi dokter akan….”
Tiba-tiba pintu terbuka, diiringi dengan munculnya seorang dokter dan perawat.

“Dokter akan memeriksa. In sya Allah, semuanya akan baik-baik saja. Aku menelpon ibu sebentar. Ibu pasti senang mendengarnya.”

Mas Akram terhenti ketika tanganku masih memegang lengannya. Ia melayangkan ciumannya ke keningku.
“Biarkan dokter memeriksanya.” Bisikan dan tatapannya yang lembut membuat tanganku pasrah terkulai. “Aku cuma menelpon ibu sebentar.”

Aku tak perduli dokter melaksanakan rentetan pemeriksaan. Perhatianku hanya tertuju pada sosoknya yang menghilang di balik pintu.

***
“Mas, mau membawaku ke mana?”
Aku sudah benar-benar bosan membisu di rumah sakit. Sudah tak terhitung berapa kali saya merengek, namun beliau tak juga bisa meluluhkan hati dokter. Alasannya tetap sama, saya belum sembuh total. Dokter mengkhawtirkan, jikalau saya pulang dan bebas beraktifitas, tulang kakiku kembali retak. Alasan dokter tak dapat kucerna dengan baik. Aku benar-benar bosan.

Akhirnya, kekesalanku tak bisa dibendung lagi. Aku menumpahkan semua kekesalan pada Mas Akram. Alhasil, saya melihat wajah Mas Akram memerah, geraham mengatup rapat. Mata sayunya berubah garang. Aku ketakutan melihatnya. Tak pernah saya melihatnya menyerupai ini.
Beruntung sekali, di balik ketakutanku, perlahan kekesalannya mulai melebur. Matanya kembali lembut. Sesaat keningnya berkerut, sepertinya ia sedang berpikir.
“Sebentar.”

Belum sempat kubertanya, Mas Akram sudah keluar dan tak lama muncul dengan membawa dingklik roda. Tanpa aba-aba, ia eksklusif mengangkatku dan mendudukkanku ke dingklik roda.
“Mas mau membawaku ke mana?” saya mengulangi pertanyaanku, karena dari tadi ia tak menjawab.
“Ke surga,”
Aku terksiap panik. Apa maksudnya ke surga? Apa mengalami hal yang serius? Aku memutar kepala untuk mencari tau apa maksudnya.

“Sudahlah, membisu saja! Sebentar lagi sampai.” Ia terus mendorong dingklik roda yang kududuki.
Sepanjang koridor, saya hanya diam. Pikiranku berkecamuk. Apa maksudnya?
Aku hampir tak percaya, Mas Akram membawaku kesebuah teman, di depan rumah sakit. Sudah lama saya tidak mencicipi udara luar nan segar. Kami berhenti di bersahabat sebuah pancuran air. Bunyi pemikiran airnya melahirkan irama yang menenangkan hati.

Kuangkat wajah, menatap wajah semringah di depanku. Mas Akram merentangkan tangannya.
“Sayang sekali, tempatnya tidak sepi.”
Kuedarkan pandanganku. Taman ini ada di depan pintu utama rumah sakit, terlihat orang-orang berlalu lalu lalang keluar masuk.
Ke Barat Laut adegan luar terlihat parkiran mobil, menjorok ke Barat-Barat Laut ada parkiran motor, di kelilingi beberapa warung makan dan kios cemilan. Sedangkan ke arah Tenggara Barat ada rumah makan.
“Tak apa. Aku sangat suka. Terimakasih.”
Mas Akram berjongkok, duduk berhadapan denganku. Senyumnya, semakin membuat wajahnya semakin menawan. Astaga, ternyata mas Akram mempunyai penggalan dagu.

Aku mengernyit, mengingat-ngingat kenapa saya tak menyadarinya, padahal saya bersamanya sudah lebih 100 hari.
Senyum mas Akram hilang, berganti wajah tanda tanya. Mungkin ia galau dengan keherananku. Belahan dagunya juga lenyap.
Kini saya tahu, ternyata Mas Akram mempunyai penggalan dagu yang samar, sehingga tidaklah nampak kecuali beliau sangat bahagia, dan gres kali ini saya melihatnya. Apakah gres kali ini ia sangat bahagia? Selama bersamaku?
Kualihkan pandanganku ke pancuran air. Kujulur-julurkan tanganku, Aku ingin sekali menggapainya.

Mas Akram memahaminya. Ia mengangkat tubuh, dan mendudukkanku di bibir kolam. Bahu Mas Akram bergerak-gerak melihat kegiranganku.
“Terimakasih.”
“Tak perlu berterimakasih sesering itu. Itu kewajibanku,” tawa kecil menyela kata-katanya.
“Aku tetap harus berterimakasih,” kataku ngotot.
“Iya, sudah kalau begitu. Kamu harus janji, jangan nakal lagi. Harus turuti apa kata dokter, ya!”
Aku tertawa lepas. Mas Akram seolah-olah sedang bicara pada anak kecil.
“Ko, malah ketawa. Janji?”
“In sya Allah.”

Beberapa detik kami terdiam. Aku kembali sibuk memainkan air dalam kolam.
“Apa maksud Mas Akram membawaku ke surga tadi?”
Mas Akram tak eksklusif menjawab. Ia hanya menatapku lurus-lurus, saya melihat terang di sana ada bayanganku.

Senyumnya kembali mengurai, samar-samar terlihat lagi penggalan dagunya.
“Aku sangat mencintaimu. Mas ingin, kau selalu bersamaku. Baik di dunia ini, bahkan hingga ke akherat kelak. Untuk itu saya berjanji dalam diriku sendiri, akan selalu menjagamu, memperhatikanmu, dan membimbingmu. Bersama, kita menaati Tuhan dan Rasul-Nya. Tak perduli apakah kau mencintaiku atau tidak. Aku akan berusaha dan tulus bersabar, karena saya ingin selalu bersamamu.”

Air mataku meluncur begitu saja. Betapa berdosanya, menyia-menyiakan perasaan laki-laki sebaik dia. Bersama-sama hingga ke surga ialah kesepakatan orang-orang saleh. Melebihi kesepakatan para pemuja cinta.
“Apa saya terlalu memaksamu? ” Tangan lembut mas Akram menghapus lembut air mataku.

Aku hanya menjawab dengan gelengan kepala. Suaraku bungkam disekap rasa bersalah. Aku membenamkan badan ke dalam pelukannya.
“Maafkan aku. Aku mencintai, Mas. Sangat  cinta.” Suaraku hanyalah berupa bisikan. Namun saya yakin, ia mendengarnya, sejelas saya mendengar gemuruh dadanya. Aku merasa tak pernah seyakin ini dalam hidupku.




Baca Juga
SHARE
Subscribe to get free updates

Related Posts

Post a Comment

Iklan Tengah Post